“Basah lagi.” Gumamnya dalam hati.
Dengan sigap dia membersihkan bajunya yang terkena rintikan air hujan.
Ia melipir ke sebuah kedai kopi di pinggiran Surakarta, masuk ke dalam dan memesan ice Almond Coffee dan satu buah pastry. Setelah membayar dan menerima kopinya, ia memilih duduk di meja bar yang menghadap ke luar kedai.
Ia memandangi jalanan di luar kedai dengan seksama. Sudah seharian hujan deras, namun sore ini langit sudah mulai lelah mengirimkan air hujannya untuk membasahi daerah Surakarta. Hanya rintiknya yang menghiasi sepanjang jalan Slamet Riyadi. Pengendara motor yang sedang berteduh satu persatu mulai menyalakan motornya dan mengendarakannya disepanjang jalan, berjalan menjauh dari tempat meneduhnya. Sedangkan para pengemudi mobil masih harus bersabar dengan macetnya jalanan yang dikarenakan traffic light yang selalu tiba-tiba berubah warna menjadi merah.
“Permisi.”
Ia langsung menoleh ke arah sumber suara.
“Boleh duduk disamping sini, mbak?” Tanya sang pemilik suara.
Ia mengangguk.
Akhirnya sang pemilik suara tersebut duduk disampingnya. Tentu dengan kopi hangat di tangannya.
“Mbak, suka kopi?” Tanya orang disampingnya.
“Engga, sih. Makanya pesen Almond Coffee.” Jawabnya dengan setengah tersenyum.
“Oh, ya, mbak. Mari, mbak, diminum kopinya.” Kata sang pemilik suara ikut tersenyum.
Ia kembali sibuk dengan pekerjaannya memerhatikan jalan yang kembali macet. Suara bising oleh klakson mobil dan motor yang sudah tidak sabar menunggu giliran untuk jalan bersahutan.
“Solo tuh macet, ya, mbak?” Sosok yang disampingnya kembali bertanya.
“Iya, nih. Gara-gara hujan jadi macet. Soalnya jalannya harus hati-hati, gabisa grasak grusuk.” Jawabnya. “Eh, masnya emang bukan orang Solo?”
Sosok yang berada disampingnya adalah laki-laki. Berparas putih, bersih, perawakannya tinggi, besar.
“Bukan, mbak. Saya pendatang. Baru pindah kerja di daerah Pasar Kliwon.” Jawab laki-laki tersebut.
“Kenapa nggak kerja di Jakarta? Kenapa di Solo, mas?” Tanya sang perempuan beruntut.
Laki-laki itu tersenyum lebar diselingi ketawa kecil.
“Saya lebih senang di Solo, mbak. Solo rasanya seperti rumah. Solo membuat saya nyaman dan saya senang. Ada Manahan, saya suka sekali bermain sepakbola. Ada banyak kuliner murah, mbak. Ada wedang ronde…”
Sang perempuan mengangguk tanda mengerti.
“…dan ada cinta yang harus saya kejar juga, mbak. Makanya saya ke Solo.”